Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Muchtar, mengatakan bahwa sangat sulit bagi kontestan untuk memenangkan gugatan sengketa pemilihan presiden (pilpres) di Mahkamah Konstitusi (MK). Sejak tahun 2004, para pihak yang kalah dalam pilpres selalu mengajukan gugatan ke MK, namun selalu berakhir dengan kekalahan.
Menurut Muchtar, ada tiga alasan yang membuat proses gugatan pilpres di MK sulit untuk dimenangkan. Pertama, adalah proses pembuktian yang sulit karena batasan waktu yang ketat. “Proses pembuktian rasanya seperti legenda Bandung Bondowoso, di mana sulit untuk membuktikan sesuatu dalam waktu yang sangat singkat,” ujarnya.
Muchtar menjelaskan bahwa jika ada kontestan yang menggugat karena merasa ada kecurangan dalam sembilan juta suara di wilayah tertentu, maka kontestan tersebut harus membuktikannya dari sekitar 30.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS). “Proses pembuktian hanya diberikan waktu beberapa hari dan hanya sedikit saksi dan ahli yang dapat dihadirkan, sedangkan yang perlu dibuktikan jumlahnya puluhan juta suara,” tambahnya.
Kedua, Muchtar menyoroti logika Hakim MK yang cenderung menitikberatkan kecurangan pilpres dari aspek perhitungan angka. Jika kecurangan dilihat dari segi angka, kemungkinan besar gugatan terkait sengketa pemilu tidak akan menghasilkan perubahan signifikan. “Misalnya, jika salah satu kontestan dapat membuktikan adanya kecurangan dengan angka tertentu, namun angka tersebut tidak mengubah hasil akhirnya, maka tidak akan ada perubahan yang terjadi,” jelasnya.
Ketiga, masalah keberadaan Kecurangan Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) yang seringkali dianggap oleh Bawaslu sebagai kewenangannya. Menurut Muchtar, hal ini seringkali menjadi perdebatan di MK, di mana pengacara dari salah satu pihak akan mengajukan argumen bahwa Bawaslu sudah mengatasi masalah tersebut. “Putusan pada 2019 mencerminkan hal tersebut,” katanya.
Muchtar menegaskan bahwa gugatan pilpres mungkin saja bisa dimenangkan jika para Hakim MK dapat melihat kecurangan dalam pemilu tidak hanya dari segi angka dan hasil perolehan suara. “Diperlukan hakim yang memiliki kemampuan untuk berpikir lebih luas. Namun, dengan konfigurasi MK seperti saat ini, saya kurang yakin,” tambahnya.